BELUM lama ini kita digemparkan dengan permasalahan adanya wacana agar sistem pemilu yang akan diterapkan pada pemilu 2024 mendatang dikembalikan ke sistem pemilu proporsional tertutup.
Wacana itu muncul setelah adanya enam pemohon agar dilakukan uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November lalu.
Uji materi diajukan oleh enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Mereka meminta MK mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup
Para pemohon meminta dilakukannya uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dimana pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (8). Pasal-pasal itu dinilai inkonstitusional sehingga sistem pemilu di Indonesia berganti dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.
Tuntutan agar sistem pemilu dikembalikan kepada sistem tertutup juga lantaran adanya berbagai alasan atau berbagai dampak negatif yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satu dampak yang disebutkan yakni banyaknya muncul Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) akibat kalah dalam pemilu legislatif dan banyak contoh lainnya.
Sistem pemilu terbuka sendiri disebutkan merupakan sistem pemilu yang menerapkan pencoblosan surat suara bisa dilakukan di nomor urut dan nama calon dengan penentuan suara terpilih adalah suara terbanyak, sedangkan sistem tertutup hanya memilih lambang partai saja dan yang terpilih ditentukan dengan nomor urut.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari pernah mengatakan jika dampak negatif dari penerapan sistem pemilu proporsional tertutup adalah dominasi pimpinan partai politik akan melampaui kedaulatan rakyat saat menentukan para wakilnya di parlemen atau lembaga legislatif seperti DPR.
Permasalahan sistem itu hanya akan meletakkan dominasi pimpinan partai atas kedaulatan rakyat dimana rakyat akan sekedar menjadi kamuflase demokrasi. Sementara di Pasal 22E Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 ayat 1 jelas menyatakan jika pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap. Baik untuk memilih DPR, DPD, Presiden, maupun Wakil Presiden.
Selain itu, sistem proporsional tertutup juga tidak dikenal oleh Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebab, sistem pemilu yang ditetapkan UU ini adalah sistem proporsional terbuka.
Sementara sistem proporsional terbuka memberikan ruang masyarakat untuk bisa memilih calon yang ia sukai dan ia inginkan. Dengan kata lain rakyat sendirilah yang menentukan wakilnya bukan oleh ketua partai. Apalagi UUD menyebutkan kedaulatan rakyat yang artinya rakyatlah yang berkuasa. Tetapi memang banyak partai acap kali mengubah sistem itu untuk kepentingan mereka.
Meski melalui pergolakan seru dan menjadi isu yang hangat, namun akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka sebagai sistem pemilu yang akan diterapkan di dalam Pemilu 2024.
Hakim Konstitusi Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan putusan sidang perkara uji konstitusional sistem pemilu proporsional terbuka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi di Jakarta, pada Kamis (15/6/2023) lalu.
MK menolak dalil-dalil yang diajukan para pemohon seperti membuat maraknya politik uang, politik berbiaya tinggi dan melahirkan korupsi politik. Dalil sistem proporsional terbuka mengakibatkan banyak suara tidak sah karena pemilih kebingungan saat mencoblos serta membuat pemilu menjadi sangat rumit juga ditolak.
Begitu juga dalil jika sistem proporsional terbuka lebih menonjolkan individu dan mengurangi peran partai politik (parpol) yang dalam UUD 1945 disebut sebagai peserta pemilu juga ditolak.
Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra jika parpol masih memiliki kewenangan untuk recall atau mengganti anggota DPR/MPR dari partainya karena sejumlah alasan tertentu.
Majelis juga menolak dalil pemohon bahwa sistem proporsional terbuka membahayakan NKRI dan merusak ideologi Pancasila. Sistem pemilu telah dirancang guna membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik.
Dalam hal ini, sistem pemilu yang dipagari dengan prinsip-prinsip yang dapat membatasi aktor politik tak merusak ideologi negara, sistemnya tak perlu dikhawatirkan membahayakan. Sejumlah UU telah mengantisipasi hal itu, seperti larangan parpol menganut asas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang diatur dalam UU No 2/2011 tentang Perubahan atas UU No 2/2008 tentang Partai Politik.
Kesimpulannya, dari permasalahan yang menghebohkan tersebut telah berakhir setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan jika sistem pemilu 2024 mendatang kembali lagi ke sistem proporsional tertutup. (**)
0 komentar:
Posting Komentar